Hanif menekankan, Indonesia merupakan negara megabiodiversitas dengan 22 tipe ekosistem alami yang tersebar dari darat hingga laut. Ekosistem ini menjadi rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna yang menyimpan potensi besar sebagai sumber pangan, obat-obatan, hingga energi.
“Biodiversitas tidak ada artinya bila tidak kita tangani secara pentahelix, dari pemerintah, dunia usaha, masyarakat, akademisi, pakar, serta media,” ujarnya.
Ia mengingatkan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah memandatkan pengelolaan tujuh ekosistem esensial, termasuk gambut, mangrove, karst, ekosistem danau, padang lamun, serta terumbu karang. Namun hingga kini, baru ekosistem gambut dan mangrove yang memiliki peraturan pemerintah (PP) khusus.
“Masih ada utang lima PP dari tujuh ekosistem esensial yang dimintakan undang-undang kepada Menteri untuk membangunnya,” kata Hanif. Ia pun meminta dukungan penuh dari Bappenas dan BRIN untuk mempercepat tata kelola ekosistem lainnya.
Hanif menyinggung keterkaitan erat antara keanekaragaman hayati dan nilai ekonomi karbon. Menurutnya, Indonesia masih sibuk mengembangkan pasar karbon, namun melupakan potensi ekonomi dari biodiversity credit.
“Kita ini negara terbesar nomor dua di dunia megabiodiversity yang tidak pernah kita sentuh. Kita masih asyik dengan kegiatan-kegiatan ekstraksi sumber daya alam yang tentu tidak berkelanjutan,” tegasnya. (Sumber: Republika)