Selanjutnya dia menjelaskan bahwa Trump sempat menjanjikan bahwa tarif tambahan bisa diturunkan, tapi syaratnya harus ada konsesi tambahan yang menguntungkan AS dan merugikan kedaulatan ekonomi negara mitra.
Bahkan, kata Prof Syafruddin, tarif 19 persen pun oleh Trump dianggap sebagai harga yang belum pantas.
"Ia masih menuntut lebih. Lebih banyak pembukaan pasar, lebih banyak pelonggaran aturan kandungan lokal, dan lebih banyak penyerahan kendali ekonomi kepada korporasi global milik AS," kata Prof Syafruddin.
"Di mata Trump, kekuatan ekonomi negara mitra adalah ancaman yang harus dilucuti perlahan-lahan melalui tarif dan tekanan diplomatik," sambungnya.
Dalam logika ini, Prof Syafruddin mengatakan, Trump menjadikan tarif sebagai senjata koersif yang mematikan. Negara mitra yang tidak patuh diberi beban tarif tinggi, ditekan agar terus memberikan konsesi, dan dihalangi untuk membangun kekuatan industrinya sendiri.
Negara yang semakin lemah, kata Prof Syafruddin, bukan diberdayakan, tetapi justru terus dilemahkan, hingga tidak lagi punya pilihan selain tunduk.
"Ini adalah pola kekerasan ekonomi yang sangat mirip dengan praktik genosida Israel di Gaza -- membungkam kedaulatan, memutus akses pertumbuhan, dan menghilangkan daya hidup secara sistematis. Bedanya, senjatanya bukan rudal, tapi tarif," tutupnya.
Tarif Trump Seperti Perlakuan Zionis Israel ke Rakyat Gaza
Menurutnya Presiden AS ini tidak memberi ruang bagi perundingan sejajar dalam kebijakan tarif resiprokal tersebut. Sebab, seluruh negara di dunia seolah harus mematuhi kebijakan Trump.